Langsung ke konten utama

Pinjam Meminjam dalam Pandangan Syariat

 

}فصل} في أحكام العارية وهي بتشديد الياء في الأفصح مأخوذة من عار إذا ذهب. وحقيقتها الشرعية إباحة الانتفاع من أهل التبرع بما يحل الانتفاع به مع بقاء عينه ليرده على المتبرع.

Fasal: Menerangkan Tentang Pinjam Meminjam

Lafadz al-Ariyah dengan dibaca tasydid ya’nya menurut bacaan yang paling fashih adalah lafadz yang diambil dari ‘ara idza dzahaba (malu apabila seseorang pergi). Adapun hakikat al-‘Ariyyah dalam literatur syariat adalah pembolehan pemanfaatan dari seseorang yang bertransaksi sesuai syariat, pada sesuatu yang halal dimanfaatkan dan sesuatu tersebut tidak berubah dalam masa peminjaman, untuk dapat dikembalikan pada orang yang meminjami.

وشرط المعير صحة تبرعه وكونه مالكا لمنفعة ما يعيره. فمن لا يصح تبرعه كصبي ومجنون لا تصح إعارته. ومن لا يملك المنفعة كمستعير لا تصح إعارته إلا بإذن المعير

Ketentuan Akad al-‘Ariyyah (Pinjam Meminjam)

Syarat orang yang meminjami adalah seseorang yang ahli tabarru’[1] dan seseorang yang benar-benar memiliki hak memanfaatkan sesuatu yang dipinjamkan. Sehingga, bagi seseorang yang tidak ahli tabarru’ seperti anak kecil dan orang gila, maka tidak sah akad pinjam meminjamnya. Dan bagi seseorang yang tidak memiliki hak kemanfaatan, seperti seseorang yang meminjam barang orang lain, maka tidak sah akad pinjam meminjamnya, kecuali atas izin orang yang meminjami.

وذكر المصنف ضابط المُعار في قوله: (وكل ما يمكن الانتفاع به) منفعةً مباحةً (مع بقاء عينه جازت إعارته)؛ فخرج بمباحة آلةُ اللهو، فلا تصح إعارتها؛ وببقاء عينه إعارةُ الشمعة للوقود، فلا تصح

Kyai mushanif menjelaskan mengenai batasan barang yang dipinjamkan pada dawuh beliau: “setiap barang yang memungkinkan untuk diambil manfaat, dengan pemanfaatan yang diperbolehkan, serta barang tersebut tidak berubah dalam masa peminjaman, maka boleh dipinjamkan”.

Sehingga, dikecualikan dari dawuh “pemanfaatan yang diperbolehkan”: alat-alat yang dapat membuat terlena, maka tidak sah akad pinjam meminjam pada hal tersebut. Dan dari dawuh “barang tersebut tidak berubah dalam masa peminjaman”: pinjam meminjam lilin untuk dihidupkan, maka tidak sah akad pinjam meminjam pada lilin tersebut.

وقوله: (إذا كانت منافعه آثارا) مخرج للمنافع التي هي أعيان كإعارة شاة للبنها وشجرةٍ لثمرتها ونحو ذلك؛ فإنه لا يصح. فلو قال لشخص: خذ هذه الشاة فقد أبحتُك دَرَّها ونسلها، فالإباحة صحيحة والشاة عارية

Dawuh kyai mushanif “barang yang dipinjamkan memiliki kemanfaatan yang berefek”: mengecualikan kemanfaatan-kemanfaatan yang bersifat barang, seperti meminjam kambing untuk dimanfaatkan susunya atau meminjam pohon untuk dimanfaatkan buahnya, dan contoh-contoh lain, maka tidak sah akad pinjam meminjam yang dilakukan.

Andaikan seorang pemilik kambing berkata: “ambil lah kambing ini, sungguh aku telah memperbolehkan susunya dan anaknya untuk dimanfaat olehmu”. Maka, sesuatu yang diperbolehkan (susu dan anak kambing) hukumnya sah dimiliki dan kambing yang diberikan hukumnya tetap seperti akad pinjam meminjam.[2]

)وتجوز العارية مطلقا) من غير تقييد بوقت (ومقيدا بمدة) أي بوقتٍ كأعَرتُك هذا الثوب شهرا. وفي بعض النسخ «وتجوز العارية مطلقة ومقيدة بمدة». وللمعير الرجوع في كل منهما متى شاء

Jenis dari akad pinjam meminjam ada dua:

Pertama, akad pinjam meminjam secara muthlak tanpa adanya batasan waktu.

Kedua, memiliki batasan waktu, seperti ucapan orang yang meminjamkan: “aku pinjamkan baju ini padamu dalam waktu satu bulan”.

Dalam sebagian redaksi kitab disebutkan: akad pinjam meminjam boleh dilakukan dengan cara muthlak maupun dibatasi dengan waktu. Dan bagi seseorang yang meminjami, boleh meminta barang yang dipinjamkan untuk dikembalikan, baik dengan akad muthlak maupun muqayyad, kapan pun ia menginginkannya.

)وهي) أي العارية إذا تلفت، لا باستعمال مأذون فيه (مضمونة على المستعير بقيمتها يوم تلفها) لا بقيمتها يوم طلبها، ولا بأقصى القِيَم. فإن تلفت باستعمال مأذون فيه كإعارة ثوب للُبسه فانسحق أو انمحق بالاستعمال فلا ضمان

Ketika akad pinjam meminjam dan terjadi kerusakan yang disebabkan pada pemakaian barang yang tidak diizinkan, maka ongkos ganti rugi ditanggungkan pada orang yang meminjam, dan ongkos ganti tersebut disesuaikan dengan ongkos yang berlaku pada saat barang tersebut rusak, bukan ongkos yang berlaku pada saat barang tersebut diserah terimakan, juga bukan dengan ongkos yang lebih mahal.

Namun, ketika barang yang dipinjamkan rusak sebab pemakaian yang diperbolehkan, seperti dalam peminjaman baju untuk dipakai, kemudian baju tersebut rusak atau bedah, maka tidak ada tanggungan yang wajib dibayar. Wallahu A’lam.



[1] Ahli tabarru’ merupakan seseorang yang dapat bertransaksi sesuai ketentuan syariat.

[2] Jadi, kambing yang awal sebagaimana dikatakan pemilik kambing, hukumnya seperti akad pinjam meminjam, yakni pemilik dapat meminta sewaktu-waktu, dan orang yang dipinjami mengganti jika terjadi cacat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ghasab

  Fasal: Menerangkan Hukum - Hukum Ghasab Secara bahasa ghasab diartikan dengan mengambil sesuatu secara dzalim dengan cara terang-terangan. Sedangkan dalam literatur syariat ghasab diartikan sebagai menguasai hak orang lain dengan cara dzalim atau tidak semestinya. وهو لغةً أخذ الشيء ظُلمًا مجاهرة وشرعا الاستيلاء على حق الغير عُدْوانًا Ukuran penguasaan disini dikembalikan pada adat yang berlaku. ويُرجع في الاستيلاء للعرف Termasuk di dalam hak orang lain, sesuatu yang sah dighasab adalah suatu barang yang selain harta, seperti kulit bangkai. Dikecualikan dari “secara tidak semestinya”: menguasai harta orang lain dengan cara akad. ودخل في حق الغير ما يصح غصبه مما ليس بمال كجلد ميتة. وخرج بعُدوانا الاستيلاء على مال الغير بعقد Konsekuensi Ghasab:   Barang siapa ghasab harta orang lain, maka baginya wajib mengembalikan harta tersebut pada pemiliknya. Meskipun dal

Syarat-Syarat Sebelum Melaksanakan Shalat

Fasal: Syarat-Syarat Sebelum Melaksanakan Shalat Syarat-syarat shalat sebelum masuk di dalamya ada lima, lafadz شروط merupakan bentuk jama’ dari شرط . Syarat secara bahasa adalah tanda, sedangkan syarat menurut istilah syari’at adalah sesuatu yang menentukan sahnya shalat, namun bukanlah bagian dari shalat itu sendiri. Dikecualiakan dengan qayid ini: rukun, karena rukun merupakan bagian dari shalat itu sendiri. Syarat pertama adalah sucinya anggota badan dari hadats, baik kecil maupun besar bagi orang yang mampu melakukan nya. Adapun orang yang tidak memiliki dua alat bersuci (air dan debu), maka baginya tetap dihukumi sah shalatnya namun wajib mengulangi. Kemudian sucinya seseorang dari najis yang adanya tidak dapat dimaafkan baik berada pada pakaian, anggota badan, maupun tempat melaksanakan shalat. Kyai mushonif akan menerangkan mengenai bagian akhir (tempat melaksanakan) pada bab berikutnya. Syarat kedua adalah menutupi warna aurat bagi yang mampu. Sehingga ketika ada seseora

Tata Krama Melaksanakan Mandi

  فصل: باب أداب الغسل Fasal: Tata Krama Melaksanakan Mandi فإذا أصابتك جنابة من احتلام أو وقاع, فخذ الإناء إلى المغتسل, واغسل يديك أولا ثلاثا, وأزل ما على بدنك من قذر. Ketika kalian sedang mengalami hadats janabat baik disebabkan oleh mimpi basah ataupun hubungan badan, maka ambilah wadah untuk mandi. Kemudian basuhlah kedua tangan kalian sebanyak tiga kali dan berusahalah menghilangkan kotoran yang masih menempel pada badan kalian.   وتوضاء كما سبق وضوئك للصلاة   مع جميع الدعوات, وأخر غسل قدميك كيلا يضيع الماء. فإذا فرغت من الوضوء فصب الماء على رأسك ثلاثا وأنت ناو وفع الحدث من الجنابة, ثم على شقك الأيمن ثلاثا ثم على الأيسر ثلاثا. Setelah membersihkan badan dari kotoran yang masih menempel, maka wudlu’ lah sebagaimana wudlu’ kalian ketika akan melaksanakan shalat, serta bacalah do’a-do’a yang telah diajarkan pada kalian. Dalam berwudlu’ ini, sebaiknya kalian mengakhirkan basuhan kedua kaki agar air yang kalian gunakan tidak terbuang sia-sia. Kemudian setelah selesai melaksana