Fasal: Menerangkan Tentang Najis dan Cara Mensucikanya
Dalam beberapa redaksi kitab matan, fasal ini dijelaskan
tepat sebelum kitab tentang shalat. Najis secara bahasa adalah setiap sesuatu
yang menjijikan. Adapun najis secara syariat adalah setiap benda yang haram
digunakan secara mutlak, yang mana hal ini berlaku dalam keadaan normal dan
mudah membedakan antara najis dan tidak. Keharaman di atas bukan karena barang tersebut
dimuliakan (contoh: keturunan nabi Adam AS), bukan karena barang tersebut
menjijikan (contoh: air mani), dan bukan karena barang tersebut dapat
membahayan bagi badan atau akal ketika digunakan (contoh: tembak). Perkataan kyai
mushonif “secara muthlak” memasukan najis yang sedikit maupun banyak.
Kyai mushonif mengecualikan dengan dawuh beliau, “dalam
keadaan normal”: dalam keadaan kedaruratan. Karena adanya keadaan darurat akan
memperbolehkan menggunakan sesuatu yang najis.
Kyai mushonif mengecualikan dengan dawuh beliau,
“mudahnya membedakan”: susahnya membedakan. Seperti seseorang yang memakan ulat
yang sudah mati yang berada di dalam keju atau buah-buahan.
Kyai mushonif mengecualikan dengan dawuh beliau, “bukan
karena barang tersebut dimuliakan”: mayatnya keturunan nabi Adam AS.
Kyai mushonif mengecualikan dengan dawuh beliau, “bukan
karena barang tersebut menjijikan”: Air mani.
Kyai mushonif
mengecualikan dengan dawuh beliau, “bukan karena sesuatu tersebut dapat
membahayakan badan atau akal”: batu dan tumbuh-tumbuhan yang membahayakan untuk
badan dan akal.
Kemudian kyai mushonif memberi batas pada najis-najis
yang keluar dari qubul maupun dubur dengan dawuh beliau: Setiap benda cair yang
keluar dari qubul maupun dubur hukumnya najis. Benda-benda ini meliputi benda
yang umum keluar seperti air kencing dan tinja maupun benda yang tidak biasan
keluar seperti darah dan nanah. Seluruhnya najis, kecuali air mani yang keluar
dari keturunan nabi Adam AS dan hewan-hewan selain anjing dan babi, atau hewan
yang yang lahir dari hasil perkawinan anjing dengan babi, atau hewan yang lahir
dari hasil perkawinan anjing dan babi dengan hewan suci lainya. Dan
dikecualikan dengan dawuh kyai mushonif “benda cair”: ulat dan setiap perkara
yang keras yang tidak dapat dihancurkan oleh lambung, maka barang tersebut
hukumnya mutanajjis (terkena najis) bukan benda najis dan dapat menjadi suci
dengan cara dibasuh. Dalam sebagian redaksi kitab matan menggunakan shigat
fi’il mudlari’ وكل ما يخرج dan membuang lafadz مائع.
Membasuh setiap air kencing dan tinja, meskipun dari
hewan yang dagingnya halal dimakan itu hukumnya wajib. Tata cara membasuh najis
adalah, apabila najisnya dapat dilihat oleh mata (disebut najis ainiyyah) maka
najis dapat hilang dengan cara menghilangkan najis itu sendiri, kemudian dengan
hilangnya salah satu sifat najis yaitu rasa, warna, dan bau. Ketika rasa dari
najis belum hilang, maka membahayakan. Namun apabila warna atau bau yang susah
dihilangkan maka tidak membahayakan.
Apabila najisnya tidak dapat dilihat oleh mata (disebut
najis hukmiyyah), maka najis tersebut dapat hilang cukup dengan mengalirkan air
pada najis tersebut, meskipun hanya dengan satu kali aliran.
Dikecualikan air kencingnya anak laki-laki yang belum
pernah memakan atau meminum sesuatu yang dapat memberi kekuatan. Najis dari air
kencing anak laki-laki dapat menjadi suci dengan cara memercikan air pada najis
tersebut. Dan dalam percikan ini tidak disyaratkan mengalirnya air. Namun,
ketika anak laki-laki tersebut sudah memakan atau meminum sesuatu yang dapat
memberi kekuatan maka najis air kencingnya harus dibasuh. Dikecualikan dengan
dawuh “anak laki-laki”: seorang anak perempuan dan wandu. Najis dari air
kencing kedua-duanya dapat suci dengan cara dibasuh dengan air.
Dalam membasuh benda yang terkena najis disyaratkan benda
tersebut tersiram air, ketika air yang digunakan untuk mensucikan adalah air
yang sedikit. Ketika terbalik, yaitu benda yang terkena najis malah dicelupkan
pada air sedikit tersebut, maka benda yang terkena najis tadi tidak dapat
dikatakan suci. Namun apabila air yang digunakan untuk mensucikan adalah air yang
banyak maka tidak ada perbedaan antara menyiram benda mutanajjis dengan mencelupkanya.
Benda najis tidak dimaafkan adanya kecuali hanya sedikit
dari darah dan nanah, maka keduanya dimaafkan dalam pakaian maupun badan, dan
sah shalat beserta keduanya. Dikecualikan juga hewan yang tidak memiliki darah
mengalir, seperti lalat dan semut. Apabila hewan tersebut jatuh pada wadah dan
mati di dalamnya maka tidak dapat menjadikan najis wadah tersebut. Dawuh kyai
mushonif “ketika terjatuh” memberi kefahaman kepada kita bahwa jatuhnya hewan
tadi adalah jatuh dengan sendirinya/bukan sengaja dijatuhkan. Ketika sengaja
dijatuhkan ke dalam benda cair, maka membahayakan. Pendapat ini merupakan
pendapat yang dimantapkan oleh Imam Rafi’i dalam kitab Syarah Al Shagir
dan beliau tidak membahas masalah ini dalam kitab Al Kabir. Ketika
terdapat banyak hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir jatuh dalam satu wadah
dan merubah sifat-sifat wadah tersebut. Maka, wadah tersebut menjadi benda
mutanajjis. Ketika ada hewan yang muncul dari benda cair seperti ulat dari
cukak atau buah-buahan, maka cukak dan buah-buahan tersebut tidak menjadi benda
mutanajjis. Dan masih banyak pengecualian-pengecualian yang disebutkan dalam
kitab yang panjang pembahasanya yang mana sebagianya sudah terdapat dalam kitab
bersuci.
Pada dasarnya setiap hewan hukumnya adalah suci, kecuali
anjing dan babi atau hewan yang lahir dari hasil perkawinan antara anjing
dengan babi, atau hewan yang lahir dari hasil perkawinan antara anjing dan babi
dengan hewan-hewan suci. Dawuh kyai mushonif tersebut cocok dengan sucinya ulat
yang keluar dari barang-barang najis, maka ulat tersebut dihukumi asalnya yaitu
suci.
Setiap bangkai hukumnya adalah najis, kecuali bangkai
ikan, belalang, dan keturunan nabi Adam AS. Dalam sebagian redaksi kitab matan
menggunakan lafadz “anak adam”. Bangkai dari keturunan nabi Adam AS hukumnya
adalah suci.
Setiap wadah yang terkena jilatan anjing dan babi dapat
suci dengan cara dibasuh tujuh kali dan salah satu basuhan dicampur dengan debu
yang suci mensucikan yang dapat merata pada tempat yang terkena najis. Jikalau,
benda yang terkena najis tadi disucikan dengan air yang mengalir dan sudah
tercampur dengan debu maka cukup dengan menjalankan benda tersebut sebanyak
tujuh kali tanpa harus mencampurkan debu lagi.
Ketika benda najis dari anjing tidak dapat hilang kecuali
dengan enam basuhan, maka enam basuhan tadi baru dianggap satu basuhan. Daerah
yang memang pada asalnya sudah berdebu maka tidak disyaratkan lagi mencampurkan
debu pada air yang digunakan untuk mensucikan najis anjing, hal ini merupakan
menurut pendapat paling shahih. Najis selain dari anjing dan babi, cara
mensucikanya cukup dengan membasuh satu kali yang mana basuhan tersebut
disiramkan pada benda mutanajjis. Tiga kali basuhan lebih diutamakan, pada
sebagian redaksi kitab matan ada tambahan ة pada lafadz الثلاث.
Ketahuilah, air bekas basuhan benda yang terkena najis
hukumnya suci selama tidak berubah ketika berpisah dari air muthlak dan volume
air tersebut tidak bertambah setelah selesai mensucikan. Hal ini berlaku pada
air yang kurang dari dua kulah, apabila airnya lebih dari dua kulah maka
syaratnya hanyalah tidak adanya perubahan.
Ketika kyai mushonif selesai membahas mengenai najis yang
dapat suci dengan cara dibasuh, kyai mushonif bergegas membahas najis yang
dapat suci dengan cara perubahan, yaitu bergantinya sifat benda pada sifat
lain.
Apabila air arak berubah menjadi cukak dengan sendirinya
maka hukum nya menjadi suci. Air arak merupakan air yang berasal dari perasan
anggur baik diharamkan atau tidak. Makna perubahan menjadi cukak disini adalah
yang mulanya air arak dibiarkan saja kemudian dengan sendirinya menjadi cukak. Berubah
dengan sendirinya meliputi ketika seseorang memindah air arak tersebut yang
mulanya berada dibawah terik matahari kemudian dipindah pada tempat yang teduh
atau sebaliknya.
Namun apabila perubahan menjadi cukak tadi bukan karena
sendirinya, yaitu perubahan yang menggunakan campuran. Maka air arak tadi tidak
dapat dihukumi suci.
Apabila air arak tersebut menjadi suci maka wadahnya juga
menjadi suci.
Komentar
Posting Komentar