Langsung ke konten utama

Tentang Wanita

Bab Wanita

Fasal: Menerangkan Haidl, Nifas, dan Istihadloh.

Darah yang keluar dari alat kelamin wanita ada tiga, yaitu darah haidl, nifas, dan istihadloh.

Darah haidl merupakan darah yang keluar pada umur sembilan tahun (umur ini merupakan umur yang biasanya wanita mengalami haidl) dengan jalan yang sehat bukan karena suatu penyakit tetapi memang karena hal itu umum terjadi pada wanita. Darah ini juga keluar bukan karena disebabkan melahirkan. Kyai mushonif berkata: darah haidl warnanya hitam, panas, dan mengakibatkan rasa sakit. Perkataan ini tidak begitu banyak disebutkan dalam sebagian redaksi kitab matan. Dalam kitab Al Shahah: hitamnya darah haidl disebabkan oleh sangat merahnya darah tersebut sehingga terlihat hitam, darah tersebut bagaikan terbakar oleh api sehingga menyebabkan rasa panas.

Darah nifas merupakan darah yang keluar setelah melahirkan. Maka, darah yang keluar bersamaan saat melahirkan atau sebelum melahirkan tidak disebut dengan darah nifas. Penambahan huruf ي pada lafadz عقب merupakan tata bahasa yang jarang digunakan. Bahasa yang banyak digunakan adalah dengan menghapus ي.

Darah istihadloh merupakan darah yang keluar pada hari-hari selain hari keluarnya darah nifas dan haidl. Darah ini keluar bukan dengan jalan sehat.

Sedikit-sedikitnya waktu mengalami haidl adalah sehari semalam, atau dapat dikira-kirakan dengan dua puluh empat jam secara terus menerus sesuai waktu umumnya keluar darah haidl. Kurun waktu paling banyak adalah lima belas hari beserta malamnya. Maka, ketika darah yang keluar melebihi lima belas hari, darah tersebut dinamakan darah istihadloh. Kebanyakan wanita mengalami haidl dengan kurun waktu enam atau tujuh hari. Pedoman batasan kurun waktu ini didapat dari penelitian Imam Syafi’i RA.

Sedikit-sedikitnya seorang wanita mengalami nifas adalah satu tetes, yang dimaksud adalah mengeluarkan darah setelah melahirkan dalam kurun waktu yang  dianggap sebentar. Nifas dimulai saat anak yang dilahirkan terpisah dari rahim ibunya. Kurun waktu paling banyak adalah enam puluh hari, dan pada umumnya seorang wanita mengalami nifas selama empat puluh hari. Pedoman batasan waktu ini juga didapat dari penelitian Imam Safi’i RA.

Sedikit-sedikitnya waktu suci yang memisahkan antara dua haidl adalah lima belas hari. Kyai mushonif mengecualikan dengan dawuh beliau “antara dua haidl”: waktu yang memisahkan antara haidl dan nifas, jika berpijak pada pendapat yang lebih shahih yang menyatakan bahwa orang yang sedang hamil dapat mengalami haidl. Maka, diperbolehkan waktu yang memisahkan antara haidl dan nifas tersebut  kurang dari lima belas hari. Bahkan ada seorang wanita yang semasa hidupnya tidak pernah sama sekali mengalami haidl. Adapun kebanyakan masa suci yang memisahkan antara dua haidl pada seorang  wanita adalah diambil dari umumnya mengalami haidl. Jika pada umumnya mengalami haidl selama enam hari maka, masa sucinya adalah dua puluh empat hari. Jika pada umumnya mengalami haidl selama tujuh hari maka, masa sucinya adalah dua puluh tiga hari.

Sedikit-sedikitnya waktu dimana seorang wanita dapat mengalami haidl adalah umur sembilan tahun dalam hitungan peredaran bulan (penanggalan hijriyyah). Pada sebagian redaksi kitab matan menggunakan lafadz جارية. Maka apabila seorang wanita melihat darah keluar sebelum genap usia sembilan tahun dengan selisih waktu yang tidak cukup untuk minimal haidl dengan masa suci (enam belas hari) maka, darah tersebut dinamakan darah haidl. Apabila tidak demikian (kurang dari enam belas hari) maka darah tersebut tidak dinamakan darah haidl.

Sedikit-sedikitnya wanita mengalami hamil adalah dengan kurun waktu enam bulan. Kurun waktu paling banyak wanita mengalami hamil adalah empat tahun. Sedangkan kebanyakan wanita mengalami hamil adalah dengan kurun waktu sembilan bulan. Dasar yang digunakan dalam penetapan kurun-kurun waktu tersebut adalah sesuai kenyatan yang ada.

Seseorang yang sedang haidl diharamkan melakukan delapan perkara, dalam sebagian redaksi kitab matan menggunakan lafadz ويحرم على الحيض

Pertama adalah melakukan shalat fardlu maupun sunah, begitu pula melakukan sujud tilawah dan sujud syukur.

Kedua adalah melakukan puasa fardlu maupun sunah.

Ketiga adalah membaca Al Qur’an.

Keempat adalah menyentuh dan membawa mushaf, mushaf adalah nama dari sesuatu yang didalamnya ditulis kalam Allah diantara dua pojok. Kecuali seseorang yang sedang haidl khawatir terjadi sesuatu yang menghinakan terhadap Al Qur’an.

Kelima adalah masuk masjid bagi seseorang yang sedang haidl dan dia takut ketika masuk ke dalam masjid akan berpotensi mengotorinya.

Keenam adalah melaksanakan thawaf baik fardlu maupun sunah.

Ketujuh adalah melakukan hubungan badan, bagi seseorang yang melakukan hubungan badan saat darah keluar deras disunahkan mengeluarkan sedekah senilai satu dinar (kurang lebih empat juta rupiah) dan saat darah keluar sedikit-sedikit disunahkan mengeluarkan sedekah senilai setengah dinar.[1]

Kedelapan adalah bersenang-senang dengan sesuatu yang terletak diantara pusar dan lutut seorang wanita. Maka tidak haram bersenang-senang dengan keduanya dan sesuatu yang berada di atasnya. Pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih dalam syarah kitab Muhadzab.

Kemudian kyai mushonif menerangkan mengenai perkara-perkara yang sudah di jelaskan pada bab sesuatu yang mewajibkan mandi. Kyai mushonif berkata: haram bagi orang yang mempunyai hadats janabat melakukan lima perkara:

Pertama adalah melaksanakan sholat baik fardlu maupun sunah.

Kedua adalah membaca Al Qur’an yang ayatnya tidak di mansukh. Dalam membaca ini baik pada ayatnya atau hurufnya, atau membaca secara lirih maupun keras. Dikecualikan dengan dawuh “Al Qur’an”: taurat dan injil. Adapun dzikir-dzikir yang terdapat dalam Al Qur’an membacanya adalah boleh dengan syarat tidak secara murni membaca Al Qur’an.

Ketiga adalah menyentuh dan membawa mushaf. Ketentuanya sama dengan orang yang sedang haidl.

Keempat adalah melaksanakan thawaf  baik fardlu atau sunah.

Kelima adalah berdiam diri di dalam masjid bagi seseorang yang sedang junub dan beragama islam kecuali dalam keadaan darurat, seperti orang yang mimpi basah di dalam masjid atau adanya sesuatu yang menjadikan orang tersebut tidak dapat keluar dari masjid seperti takut atas hilangnya nyawa atau harta benda. Adapun lewat di masjid dengan tanpa berdiam diri di dalamnya maka, tidak diharamkan dan tidak dimakruhkan menurut qaul yang lebih shahih. Berlalu lalangnya orang yang memiliki hadats janabat di dalam masjid hukumnya sama dengan berdiam diri di dalamnya. Dikecualian dengan dawuh “masjid”: madrasah-madrasah dan kantor-kantor.

Kemudian setelah kyai mushonif  menerangkan mengenai keharaman bagi orang yang berhadats besar, kyai mushonif langsung menerangkan mengenai keharaman bagi orang yang berhadats kecil. Kyai mushonif berkata: haram bagi orang yang berhadats kecil melakukan tiga perkara:

Pertama adalah shalat.

Kedua adalah thawaf.

Ketiga adalah menyentuh dan membawa mushaf. Begitu pula haram menyentuh dan membawa kantong dan peti yang di dalamnya terdapat mushaf.

Diperbolehkan membawa mushaf bersamaan dengan harta benda dan kitab tafsir yang di dalamnya lebih banyak kandungan tafsir dibandingkan dengan Al Qur’an. Begitu pula boleh membawa mata uang dinar, dirham, dan cincin yang di dalamnya diukirkan Al Qu’an .

Tidak diharamkan bagi seseorang yang sudah tamyiz dan memiliki hadats menyentuh mushaf dan papan dengan tujuan pembelajaran Al Qur’an.



[1] Az Zuhaili, Kitabul Fiqhi Al Islamy Wa Adillatihi,  (Maktabah Asy Syamilah Al Haditsah), juz 1, hal. 63. Pendapat ini merupakan pendapat ulama’ syafi’iyyah selain qaul jadid. Ada beberapa pendapat mengenai kafarat bagi orang yang melakukan hubungan badan ketika haidl. Ulama’ Malikiyyah, Hanafiyyah, dan Syafi’iyyah dalam qaul jadid berpendapat bahwa, tidak ada kafarat bagi orang yang melakukan hubungan badan dalam keadaan haidl. Karena belum ada hadits yang menentukan secara tersurat akan wajibnya kafarat tersebut. Sebenarnya banyak hadits yang menerangkan mengenai kafarat tersebut, namun haditsnya Mudthorib (banyak riwayat dan sama kuatnya, namun saling bertentangan). Ulama’ Hambaliyyah berpendapat bahwa, diwajibkan membayar kafarat bagi orang melakukan hubungan badan dalam keadaan haidl. Kafaratnya sama dengan pembayaran denda bagi orang yang berhubungan badan dalam keadaan ihram. Berhubungan badan dalam keadaan haidl bukanlah dosa besar, karena tidak adanya kecocokan mengenai pengertian dosa besar dengan hal tersebut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ghasab

  Fasal: Menerangkan Hukum - Hukum Ghasab Secara bahasa ghasab diartikan dengan mengambil sesuatu secara dzalim dengan cara terang-terangan. Sedangkan dalam literatur syariat ghasab diartikan sebagai menguasai hak orang lain dengan cara dzalim atau tidak semestinya. وهو لغةً أخذ الشيء ظُلمًا مجاهرة وشرعا الاستيلاء على حق الغير عُدْوانًا Ukuran penguasaan disini dikembalikan pada adat yang berlaku. ويُرجع في الاستيلاء للعرف Termasuk di dalam hak orang lain, sesuatu yang sah dighasab adalah suatu barang yang selain harta, seperti kulit bangkai. Dikecualikan dari “secara tidak semestinya”: menguasai harta orang lain dengan cara akad. ودخل في حق الغير ما يصح غصبه مما ليس بمال كجلد ميتة. وخرج بعُدوانا الاستيلاء على مال الغير بعقد Konsekuensi Ghasab:   Barang siapa ghasab harta orang lain, maka baginya wajib mengembalikan harta tersebut pada pemiliknya. Meskipun dal

Syarat-Syarat Sebelum Melaksanakan Shalat

Fasal: Syarat-Syarat Sebelum Melaksanakan Shalat Syarat-syarat shalat sebelum masuk di dalamya ada lima, lafadz شروط merupakan bentuk jama’ dari شرط . Syarat secara bahasa adalah tanda, sedangkan syarat menurut istilah syari’at adalah sesuatu yang menentukan sahnya shalat, namun bukanlah bagian dari shalat itu sendiri. Dikecualiakan dengan qayid ini: rukun, karena rukun merupakan bagian dari shalat itu sendiri. Syarat pertama adalah sucinya anggota badan dari hadats, baik kecil maupun besar bagi orang yang mampu melakukan nya. Adapun orang yang tidak memiliki dua alat bersuci (air dan debu), maka baginya tetap dihukumi sah shalatnya namun wajib mengulangi. Kemudian sucinya seseorang dari najis yang adanya tidak dapat dimaafkan baik berada pada pakaian, anggota badan, maupun tempat melaksanakan shalat. Kyai mushonif akan menerangkan mengenai bagian akhir (tempat melaksanakan) pada bab berikutnya. Syarat kedua adalah menutupi warna aurat bagi yang mampu. Sehingga ketika ada seseora

Tata Krama Melaksanakan Mandi

  فصل: باب أداب الغسل Fasal: Tata Krama Melaksanakan Mandi فإذا أصابتك جنابة من احتلام أو وقاع, فخذ الإناء إلى المغتسل, واغسل يديك أولا ثلاثا, وأزل ما على بدنك من قذر. Ketika kalian sedang mengalami hadats janabat baik disebabkan oleh mimpi basah ataupun hubungan badan, maka ambilah wadah untuk mandi. Kemudian basuhlah kedua tangan kalian sebanyak tiga kali dan berusahalah menghilangkan kotoran yang masih menempel pada badan kalian.   وتوضاء كما سبق وضوئك للصلاة   مع جميع الدعوات, وأخر غسل قدميك كيلا يضيع الماء. فإذا فرغت من الوضوء فصب الماء على رأسك ثلاثا وأنت ناو وفع الحدث من الجنابة, ثم على شقك الأيمن ثلاثا ثم على الأيسر ثلاثا. Setelah membersihkan badan dari kotoran yang masih menempel, maka wudlu’ lah sebagaimana wudlu’ kalian ketika akan melaksanakan shalat, serta bacalah do’a-do’a yang telah diajarkan pada kalian. Dalam berwudlu’ ini, sebaiknya kalian mengakhirkan basuhan kedua kaki agar air yang kalian gunakan tidak terbuang sia-sia. Kemudian setelah selesai melaksana