Fasal: I’tikaf
Pengertian
I’tikaf:
Secara bahasa i’tikaf memiliki arti menetap atas sesuatu
baik dalam kebaikan maupun keburukan. Sedangkan secara syari’at i’tikaf
memiliki arti menetap dalam masjid dengan sifat-sifat tertentu.
Hukum I’tikaf:
I’tikaf hukumnya adalah sunah mustahabbah dilakukan dalam setiap waktu. Pada hari kesepuluh terakhir bulan Ramadlan lebih diutamakan untuk melaksanakan i’tikaf, karena agar dapat meraih malam Lailatu al-Qadr. Malam Lailatu al-Qadr menurut Imam Syafi’i termuat dalam sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadlan, jadi setiap malam dari sepuluh hari tersebut mungkin saja terdapat Lailatu al-Qadr namun, malam-malam ganjil lebih bisa dijadikan acuan. Diantara malam-malam ganjil tersebut dikerucutkan lagi pada malam ke dua puluh satu atau dua puluh tiga. Wallahu A’lam.
Syarat I’tikaf:
I’tikaf memiliki dua syarat:
Pertama adalah niat. Seseorang yang i’tikaf karena
bernadzar maka, niatnya adalah melaksanakan kefardluan atau cukup nadzar.
Kedua adalah berdiam diri di dalam masjid. Berdiam diri
ini tidak cukup hanya dengan kadar thuma’ninah namun, harus menambahkan
sekira dapat disebut dengan berdiam diri dan menetap.
Mu’takif:
Syarat orang yang beri’tikaf adalah beragama Islam,
berakal, dan bersih dari haidl, nifas, maupun janabat. Sehingga, i’tikaf tidak
sah apabila dilakukan oleh orang yang kafir, gila, haidl, nifas, dan junub.
Apabila mu’takif murtad atau mabuk ditengah-tengah melaksanakan i’tikaf maka,
batal i’tikafnya.
Mu’takif tidak
diperbolehkan keluar dari i’tikaf yang telah dinadzarinya kecuali karena hajat manusia, sebagaimana
kencing, buang air besar, dan setiap perbuatan yang memiliki makna hal-hal
keduanya, seperti mandi janabat.
Mu’takif juga
diperbolehkan keluar dari i’tikaf karena adanya udzur, sebagaimana haidl
atau nifas. Sehingga, wanita yang sedang beri’tikaf diperbolehkan keluar dari
masjid karena kedua keadaan tersebut.
Mu’takif juga
diperbolehkan keluar dari i’tikafnya karena udzur sakit yang tidak
memungkinkan untuk menetap dalam masjid dengan keadaan sakit tersebut.
Sebagaimana ketika mu’takif membutuhkan alas tidur, pembantu, dan
dokter. Atau jika ditakutkan dapat mengotori masjid seperti sakit diare dan
sering kencing (jawa: ayang-ayangen). Dikecualikan dengan dawuh kyai mushanif
tidak memungkinkan untuk menetap dalam masjid: sakit-sakit yang ringan, seperti
panas. Sehingga, mu’takif tidak diperbolehkan keluar dari i’tikafnya
karena panas tersebut.
Batalnya
I’tikaf:
I’tikaf batal karena melakukan hubungan badan yang
disengaja dan dalam keadaan ingat bahwa orang tersebut sedang i’tikaf serta
mengetahui keharaman hal tersebut. Adapun bersentuhnya mu’takif dengan
adanya syahwat berpotensi membatalkan i’tikaf. Jika mengeluarkan air mani maka,
batal. Jika tidak mengeluarkan air mani maka, tidak batal. Wallahu A’lam.
Komentar
Posting Komentar