Sunah Haji
Kesunahan haji berjumlah tujuh, yaitu:
Pertama adalah melaksanakan haji dengan cara ifrad,
dengan gambaran seseorang yang haji melaksanakan ihram haji terlebih dahulu
dari miqat nya kemudian setelah selesai, orang tersebut keluar dari kota
Mekah dengan jarak yang dekat, kemudian melaksanakan ihram umrah dan melakukan
amalan-amalan umrah. Sehingga apabila hal itu dibalik maka, tidak dikatakan
sebagai haji ifrad.
Kedua adalah membaca talbiyyah, disunahkan memperbanyak
bacaan talbiyyah dalam keadaan ihram dan laki-laki disunahkan
mengeraskan suaranya. Lafadz talbiyyah adalah sebagai berikut:
لبيك
اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الحمد والنعمة لك والملك لا شريك لك.
Setelah selesai membaca talbiyyah, disunahkan
untuk membacakan shalawat atas nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
dan berdo’a kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala meminta surga dan meminta perlindungan dari
neraka.
Ketiga adalah melaksanakan thawaf qudum, kesunahan
ketiga ini dikhususkan bagi seseorang yang sudah berada di Mekah sebelum wukuf
di tanah Arafah.
Seseorang yang sedang melaksanakan umrah ketika dia
melaksanakan thawaf maka, cukup hanya dengan melaksakan thawaf qudum.
Keempat adalah bermalam di Muzdalifah, kyai mushanif
menghitung hal ini sebagai sebuah kesunahan adalah sesuai dengan pendapat Imam
Rafi’i. Tetapi dalam tambahan kitab al-Raudlah bermalam di Muzdalifah
hukumnya adalah wajib.
Kelima adalah mendirikan shalat sunah dua rakaat thawaf
setelah selesai melakukan thawaf.
Alangkah baik apabila melaksanakannya di belakang maqam Ibrahim ‘Alaihi
al-Shalatu Wa al-Salam dengan melirihkan bacaan ketika siang dan
mengeraskan bacaan ketika malam.
Ketika tidak dapat mendirikan di belakang maqam Ibrahim
maka, lurus dengan hajar aswad.
Ketika tidak dapat lurus dengan hajar aswad maka, di
dalam masjid.
Ketika tidak dapat di dalam masjid maka, dimanapun tempat
yang sekira bisa mendirikan shalat baik di tanah haram maupun selainya.
Keenam adalah bermalam di Mina, pendapat ini merupkan
pendapat yang dishahihkan Imam Rafi’i. Namun, pendapat yang dishahihkan Imam
Nawawi hal ini adalah wajib.
Ketujuh adalah thawaf wada’ ketika akan
meninggalkan kota Mekah, baik orang tersebut sedang melaksanakan haji atau tidak.
Baik bepergian jauh maupun dekat. Kesunahan ketujuh yang dianggap oleh kyai
mushanif merupakan qoul Marjuh[1],
sedangkan dalam qaul al-Adzhar[2]
hal itu adalah wajib.
Dalam syarah kitab al-Muhadzab , ketika ihram
laki-laki wajib meniadakan dari dirinya sesuatu yang dijahit, disulam, dan
diikat baik berupa baju, munjah, maupun alas kaki. Laki-laki juga wajib memakai
jarik[3]
dan rida’[4]
yang keduanya berwarna putih dan baru, apabila tidak memiliki yang baru maka,
boleh menggunakan yang bersih.
Komentar
Posting Komentar