Hari Haram
Puasa:
Haram
melaksanakan puasa dalam lima hari, yaitu: dua hari idul fitri dan idul adlha,
dan tiga hari tasyriq yaitu tiga hari setelah hari penyembelihan qurban
(yaumu al-Nahr).
Puasa Hari
Syak:
Dimakruhkan
dengan kadar makruh tahrim, melaksanakan puasa dengan tanpa adanya sebab
pada hari yang diragukan. Kyai mushanif memberi isyarat beberapa contoh yang
dapat menjadi sebab diperbolehkan puasa pada hari yang diragukan dengan dawuh
beliau: kecuali puasa tersebut sudah menjadi adat bagi shaim dalam
menjalankan puasa sunah. Sebagaimana seseorang yang melaksanakan sehari puasa
dan sehari tidak (puasa nabi Daud AS).
Diperbolehkan
juga melaksanakan puasa pada hari yang diragukan bagi seseorang yang mengqadla’
puasa dan puasa nadzar.
Hari yang
diragukan adalah hari ketiga puluh sya’ban ketika hilal tidak terlihat pada
malam harinya padahal keadaan langit tidak mendung. Atau apabila ada berita
yang tersebar di masyarakat bahwa hilal terlihat, namun tidak ada persaksian
dari orang yang adil. Atau ada persaksian, namun dari kalangan anak-anak,
budak, atau orang fasiq.
Hubungan Badan
di Siang Hari Ramadlan:
Seseorang yang
melakukan hubungan badan di siang hari bulan Ramadlan dengan sengaja masuk
kelamin perempuan, sedangkan dia adalah orang yang berkewajiban puasa dan dia
telah berniat puasa sejak malam hari. Maka, orang tersebut berdosa karena
hubungan badan dan sedang berpuasa.
Bagi orang
tersebut juga diwajibkan mengqadla’ dan membayar kafarat, yaitu
memerdekakan budak yang beriman. Dalam sebagian redaksi kitab disebutkan bahwa
budak yang selamat dari cacat yang dapat mengganggu pekerjaan.
Ketika orang
tersebut tidak menemukan budak maka, puasa dua bulan berturut-turut.
Ketika orang
tersebut tidak mampu maka, memberi makan enam puluh orang miskin atau faqir.
Setiap individu kadarnya adalah satu mud (6 Ons) dengan apa-apa yang mencukupi
untuk zakat fitrah.
Ketika orang
tersebut tidak mampu melaksanakan semuanya maka, tetap wajib atas orang
tersebut kafarat-kafarat yang telah disebutkan. Ketika suatu saat sudah
mampu melaksanakan salah satu kafarat maka, orang tersebut melaksanakan kafarat
yang telah ditentukan.
Orang
Meninggal dan Masih Memiliki Tanggungan Puasa:
Seseorang yang
meninggal dan masih memiliki tanggungan puasa Ramadlan karena adanya udzur,
sebagaimana orang yang tidak berpuasa karena sakit dan tidak mungkin dia dapat
mengqadla’ puasa tersebut, seperti orang yang sakit sampai meninggal maka,
orang tersebut tidak berdosa dan tidak diwajibkan membayar fidyah.
Namun, ketika
meninggalkan puasa tersebut karena tidak ada udzur dan meninggal sebelum
menqadla’ puasa yang ditinggalkan maka, wali dari mayit tersebut memberi makan
dengan harta tinggalan mayit, kadarnya adalah setiap satu hari satu mud yaitu,
1 ritl lebih 1/3 Baghdad. Jika ditakar kadarnya adalah setengah wadah bangsa Mesir
(6 Ons).
Pendapat yang
diambil kyai mushanif di atas merupakan Qaul Jadid Imam Syafi’i. Dalam Qaul
Qadimnya, Imam Syafi’i berpendapat bahwa fidyahnya tidak harus berupa makanan.
Bahkan diperbolehkan bagi walinya untuk menggantikan puasa mayit tersebut,
justru hal tersebut adalah disunahkan, sebagaimana keterangan dalam kitab Syarah
al-Muhadzab dan dalam kitab al-Raudlah Imam Nawawi membenarkan
pendapat Qaul Qadim.
Orang-Orang
Yang Tidak Mampu Melaksanakan Puasa:
Orang tua,
orang yang tidak mampu, dan orang sakit yang tidak dapat diharapkan
kesehatannya lagi. Ketika mereka tidak mampu berpuasa maka, mereka tidak perlu
melaksanakan puasa. Kemudian mereka menggantinya dengan memberi makan untuk
setiap harinya dengan kadar satu mud (6 Ons). Namun, tidak diperbolehkan
mempercepat pembayaran mud ini sebelum datangnya bulan Ramadlan dan
diperbolehkan mempercepat setelah terbitnya fajar setiap hari bulan Ramadlan.
Seseorang yang
sedang hamil dan menyusui ketika mereka khawatir dengan keadaan mereka sendiri.
Sebagaimana takut munculnya bahaya karena puasa seperti sakit. Maka, mereka
boleh tidak berpuasa dan wajib atas mereka mengqadla’ puasa tersebut.
Namun, ketika
mereka khawatir dengan keadaan mereka dan bayinya, sebagaimana takut keguguran
atau sedikit keluarnya ASI maka, mereka boleh tidak berpuasa dan wajib atas
mereka mengqadla’ karena tidak berpuasa dan membayar kafarat karena anaknya.
Kafaratnya adalah untuk satu hari membayar satu mud. Satu mud adalah 1 ritl
lebih 1/3 Iraq dikatakan juga Baghdad.
Seseorang yang
sedang sakit dan musafir yang melaksanakan perjalanan jauh dan diperbolehkan.
Ketika ditakutkan akan muncul bahaya karena mereka berpuasa, maka mereka boleh
tidak berpuasa, kemudian mereka mengqadla’i puasa tersebut.
Bagi orang
sakit yang terjadi terus menerus maka, boleh atas orang tersebut tidak berniat
dari malam hari.
Namun, ketika
sakitnya tidak terjadi terus menerus, sebagaimana orang demam sesaat dan reda
sesaat. Kemudian saat tiba waktunya berpuasa dia malah demam maka, dia
diperbolehkan tidak berniat mulai malam hari.
Jika tiba
waktunya puasa dan dia tidak demam maka, dia wajib berniat mulai malam, apabila
dia kambuh di tengah-tengah puasa dan butuh untuk membatalkan puasa maka, boleh
membatalkan puasa.
Kyai mushanif
tidak menyebut mengenai puasa sunah. Puasa-puasa ini disebutkan dalam kitab
yang panjang penjelasannya. Sebagaimana puasa arafah, asyuro, ayam al-Bidl (13,
14, 15 bulan Qamariyyah), dan enam hari syawal. Wallahu A’lam.
Komentar
Posting Komentar