Fasal: Menerangkan Mengenai Shalat Jamaah
Shalat jamaah bagi laki-laki pada shalat-shalat fardlu selain shalat jumat
hukumnya adalah sunah muakkadah pendapat ini menurut kyai mushanif dan Imam Rafi’i,
pendapat yang paling shahih menurut Imam Nawawi hukum shalat jamaah adalah
fardlu kifayah.
Seorang makmum dianggap mengikuti jamaah pada selain shalat jumat dengan
ketentuan, selama imam belum melaksanakan salam yang pertama, meskipun seorang
makmum tidak dapat duduk bersama imam. Adapun shalat jamaah dalam shalat jumat
hukumnya adalah fardlu 'ain dan seseorang tidak dianggap melaksanakan nya
kecuali dapat melaksanakan satu rakaat secara sempurna.
Wajib bagi seorang makmum berniat untuk menjadi makmum atau mengikuti imam
dan tidak diwajibkan memerinci dengan siapa makmum tersebut menganut, namun
cukup dengan berniat menganut pada orang yang hadir meskipun makmum tersebut
tidak mengenalnya. Ketika seorang makmum memerinci dengan siapa dia menganut
dan salah perincianya, maka shalat makmum tersebut menjadi batal. Kecuali apabila
ada pengumpulan antara perincian tersebut dengan suatu isyarat, seperti ucapan
makmum “aku berniat menganut Zaid ini” namun, ternyata yang dianutnya
adalah ‘Amr, maka sah shalatnya. Karena sudah ada isyarah berupa kata ini.
Tidak wajib bagi imam berniat menjadi imam, sehingga tidak diwajibkan bagi
seorang imam dalam sahnya menganut pada imam tersebut (pada selain shalat jumat)
untuk niat menjadi imam. Namun, niat menjadi imam merupakan haknya imam itu
sendiri. Sehingga, apabila seorang imam tidak berniat menjadi imam, maka
pahalanya seperti orang yang shalat sendirian.
Diperbolehkan seorang yang merdeka menjadi makmum dari seorang budak begitu
pula orang yang sudah baligh menjadi makmum dari orang yang mendekati baligh. Adapun
seorang anak kecil yang belum tamyiz, maka tidak sah menganut padanya.
Tidak sah menganutnya seorang laki-laki pada seorang perempuan dan khuntsa
yang belum jelas. Begitu pula seorang khunsta yang belum jelas tidak sah
ketika menganut pada wanita atau khuntsa yang belum jelas juga.
Tidak sah menganutnya seorang qori’, yaitu orang yang bagus bacaan Al
Fatihah nya pada seorang yang ummy, yaitu orang yang cacat bacaan nya
dalam huruf atau tasydid pada surat Al Fatihah.
Kemudian kyai mushonif memberi isyarat pada syarat-syarat menganut dengan
dawuh beliau: dimanapun tempat (di dalam masjid) seorang makmum melaksanakan
shalat bersama dengan shalatnya imam dan
makmum tersebut mengetahui shalatmya imam, seperti dengan cara melihat imam secara
langsung atau melihat sebagian barisan shalat, maka hal tersebut mencukupi
dalam sahnya menganut dengan ketentuan selama makmum tidak lebih depan dari
imam. Sehingga, apabila makmum lebih depan dari imam dengan kadar satu tumit,
maka tidak sah shalat makmum tersebut. Tidak membahayakan samanya
posisi makmum dengan imam, namun disunahkan bagi seorang makmum untuk mundur
dari imamnya, dan dengan mundur ini seorang makmum tidak menjadi seseorang yang
shalat dengan sendiri sehingga tidak mendapatkan keutamaan berjamaah.
Apabila seorang imam di dalam masjid sedangkan makmum berada di luar masjid
dengan keadaan makmum yang dekat dengan imam, dengan kadar sekiranya jarak
antara imam dengan makmum tidak lebih dari kira-kira tiga ratus dziro’(kurang
lebih 144 meter)[1]
dan makmum mengetahui keadaan imam, dan tidak ada penghalang antara keduanya,
maka makmum tadi diperbolehkan menganut pada imam tersebut. Jarak tadi mulai
dihitung dari batas belakang masjid.
Ketika seorang imam dan makmum berada pada selain masjid, baik lapangan
atau bangunan, maka syaratnya adalah jaraknya tidak melebihi 300 dziro’ dan
antara imam dan makmum tadi tidak ada penghalang.
Komentar
Posting Komentar