Langsung ke konten utama

Rukun-Rukun Dalam Shalat

 

Rukun shalat

 Fasal: Tentang Ruku-Rukun Dalam Shalat

Sudah terlebih dahulu diterangkan mengenai makna shalat secara bahas dan istilah syari’at.

Rukun-rukun dalam shalat ada delapan belas rukun:

Pertama adalah niat. Niat merupakan menyengajanya seseorang untuk melakukan sesuatu bebarengan dengan melakukan sesuatu tersebut. Tempat niat adalah hati. Apabila shalat yang dilaksanakan adalah shalat fardlu, maka wajib berniat fardlu, menyengaja melakukan shalat tersebut, dan merincinya dengan semisal shalat shubuh atau dzuhur. Apabila shalat yang dilaksanakan adalah shalat sunah yang memiliki waktu semisal sunah rawatib atau shalat sunah yang memiliki sebab semisal shalat istisqa’, maka wajib menyengaja shalat tersebut dan merincinya namun tidak diwajibkan berniat sebagai sunah.

Kedua adalah berdiri bagi yang mampu. Sehingga bagi seseorang yang tidak mampu untuk berdiri diperbolehkan duduk semampunya, dan duduk dengan cara iftirasy lebih diutamakan.

Ketiga adalah takbiratul ihram. Bagi seseorang yang mampu berbicara menjadi khusus kalimat الله أكبر sebagai takbiratul ihram. Sehingga tidak sah takbiratul ihram dengan kalimat الرحمن أكبر dan sejenisnya. Tidak sah juga dalam takbiratul ihram mendahulukan khabar atas mubtada’ seperti kalimat أكبر الله. Seseorang yang tidak mampu bertakbiratul ihram dengan bahasa arab diperbolehkan menerjemah takbiratul ihram ke dalam bahasa yang sekiranya orang tersebut mampu dan tidak diperbolehkan menggantinya dengan dzikir-dzikir lain. Wajib membarengkan niat dengan takbiratul ihram. Adapaun Imam Nawawi RA, memilih cukupnya  pembersamaan tersebut secara adat dengan sekiranya seseorang telah dianggap menghadirkan niat tersebut di dalam hati.

Keempat adalah membaca surat Al Fatihah atau penggantinya bagi orang yang tidak hafal surat Al Fatihah, baik dalam shalat fardlu maupun sunah. Kalimat basmalah merupakan ayat dari surat Al Fatihah secara sempurna. Barang siapa yang menghilangkan satu huruf saja atau satu tasydid, atau mengganti hurufnya dengan huruf lain, maka tidak sah bacaan orang tersebut dan tidak sah pula shalat orang tersebut. Hal tersebut ketika memang sengaja dilakukan, apabila tidak sengaja wajib bagi orang tersebut mengulangi bacaanya. Wajib pula seseorang membacanya sesuai urut, yaitu seseorang harus membacanya sesuai urutan susunan surat Al Fatihah yang sudah diketahui. Wajib pula berkelanjutan dalam membaca surat Al Fatihah, yaitu seseorang menyambung sebagian kalimat dengan kalimat lainya tanpa memisah-misah, kecuali hanya untuk mengambil nafas. Sehingga apabila seseorang memisahnya dengan suatu dzikir, maka dzikir tersebut telah memutus bacaan Al Fatihah. Kecuali dzikir yang memiliki hubungan dengan shalat seperti bacaan amin dari makmum dalam pertengahan bacaan Al Fatihah, karena untuk mengaminkan bacaan Al Fatihah imam. Hal tersebut tidak dianggap sebagai pemutus berkelanjutan dalam bacaan surat Al Fatihah. Seseorang yang tidak mengetahui surat Al Fatihah dan surat Al Fatihah sulit bagi orang tersebut semisal disebabkan tidak adanya orang yang mengajari, namun orang tersebut dapat membaca Al Qur’an selain surat Al Fatihah secara baik, maka wajib bagi orang tersebut membaca tujuh ayat yang berkelanjutan sebagai ganti dari surat Al Fatihah atau dapat juga dengan tujuh ayat yang terpisah-pisah. Apabila orang tersebut tidak dapat menggantikanya dengan bacaan Al Qur’an, maka orang tersebut dapat menggantikanya dengan dzikir sekiranya huruf dari dzikir tersebut tidak kurang dari huruf dalam surat Al Fatihah. Apabila seseorang tidak dapat menggantikanya dengan bacaan Al Qur’an maupun dzikir, maka seseorang tersebut berdiri dengan perkiraan lamanya bacaan surat Al Fatihah. Dalam sebagian redaksi kitab matan menggunakan lafadz “dan membaca surat Al Fatihah setelah membaca basmalah, basmalah merupakan ayat dari surat tersebut”.

Kelima adalah rukuk. Sedikit-sedikitnya fardlu dalam melaksanakan rukuk bagi orang yang berdiri, mampu melaksanakanya, normal keadaan fisiknya, dan sehat kedua tanganya adalah membungkukan badan tanpa membusungkanya (degek: jawa) dengan kira-kira kedua telapak tangan orang tersebut dapat menyentuh kedua lututnya, seandainya orang tersebut ingin meletakan kedua tanganya diatas kedua lututnya. Apabila seseorang tidak dapat melakukanya, maka orang tersebut dapat membungkukan badan semampunya dan berisyarat dengan matanya. Sempurna-sempurnanya rukuk adalah menyamakanya seseorang yang sedang rukuk antara punggung dengan lehernya sekiranya keduanya menjadi semacam papan, menegakan kedua betisnya, dan menyentuh kedua lututnya dengan kedua tanganya.

Keenam adalah thuma’ninah dalam rukuk. Thuma’ninah adalah diam setelah bergerak. Kyai mushonif menjadikan thuma’ninah ini menjadi rukun yang berdiri sendiri. Pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih Imam Nawawi RA dalam kitab At-Tahqiq. Selain kyai mushonif menjadikan thuma’ninah sebagai keadaan yang mengikuti rukun.

Ketujuh adalah bangun dari rukuk dan i’tidal dengan berdiri tegap seperti keadaan sebelum seseorang melakukan rukuk, hal ini berlaku bagi seseorang yang mampu berdiri dan duduk bagi orang yang tidak mampu untuk berdiri.

Kedelapan adalah thuma’ninah dalam melaksanakan i’tidal.

Kesembilan adalah sujud dua kali setiap satu rakaat. Paling sedikit-sedikitnya sujud adalah menyentuhnya sebagian dahi orang yang sedang shalat pada tempat sujudnya, yaitu berupa lantai atau selainya. Sempurna-sempurnanya sujud adalah seseorang takbir untuk turun melakukan sujud dengan tanpa mengangkat kedua tanganya, kemudian orang tersebut meletakan kedua lututnya, kedua tanganya, dan dahi beserta hidungnya.

Kesepuluh adalah thuma’ninah dalam melaksanakan sujud. Sekiranya tempat sujud seseorang tersebut menerima beban dari kepalanya. Tidak cukup seseorang hanya menyentuhkan dahinya pada tempat sujud. Bahkan seseorang harus berusaha menekan kepalanya yang mana sekira dibawah tempat sujud terdapat semisal kapas, maka kapas tersebut tidak menjadi cekung dan bekasnya terasa apabila tangan dirabakan pada tempat tersebut.

Kesebelas adalah duduk diantara dua sujud dalam setiap rakaat, baik orang tersebut shalat dengan cara berdiri maupun tidur miring. Sedikit-sedikitnya duduk diantara dua sujud adalah diam setelah bergeraknya anggota badan. Sempurna-sempurnanya duduk diantara dua sujud adalah menambah diam sejenak tadi dengan do’a yang bersumber dari nabi Muhammad SAW. Sehingga apabila seseorang tidak duduk dengan sempurna, namun seseorang tersebut hanya duduk yang hampir mendekati sempurna, maka duduknya dihukumi tidak sah.

Kedua belas adalah thuma’ninah dalam melaksanakan duduk diantara dua sujud.

Ketiga belas adalah duduk akhir, yaitu duduk yang menyertai salam.

Keempat belas adalah tasyahud di dalam duduk akhir. Sedikit-sedikitnya tasyahud adalah kalimat التحيات لله سلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته سلام علينا وعلى عباد الله الصالحين أشهد أن لاإله إلا الله وأشهد أن محمدا رسول الله”.

Kelima belas adalah membaca shalawat kepada nabi Muhammad SAW di dalam duduk akhir setelah selesai membaca tasyahud. Sedikit-sedikitnya bacaan shalawat kepada nabi adalah kalimat اللهم صل على محمد”. Dawuh kyai mushonif memberi kefahaman terhadap kita, bahwa membaca shalawat kepada keluarga nabi tidak diwajibkan, namun disunahkan.

Keenam belas adalah salam yang pertama. Wajib meletakan salam pada posisi duduk. Sedikit-sedikitnya salam adalah kalimatالسلام عليكمsebanyak satu kali. Sempurna-sempurnanya salam adalah kalimatالسلام عليكم ورحمة اللهsebanyak dua kali dengan menghadap ke kanan dan ke kiri.

Ketujuh belas adalah niat keluar dari shalat. Pendapat ini merupakan pendapat yang diunggulkan, dikatakan pula niat keluar dari shalat ini tidak diwajibkan. Pendapat ini merupakan pendapat yang paling shahih.

Kedelapan belas adalah urutnya rukun yang sudah disebutkan. Sehingga antara bacaan tasyahud akhir dengan shalawat kepada nabi. Dawuh kyai mushonif “seperti apa yang sudah kami sebutkan”  mengecalikan: wajibnya membarengkan niat dengan takbiratul ihram dan duduk akhir dengan bacaan tasyahud akhir serta bacaan shalawat kepada nabi.

Sunah-sunah sebelum melaksanakan shalat ada dua, yaitu:

Adzan, secara bahasa adzan adalah memberi tahu. Sedangkan secara istilah syari’at adazan merupakan dzikir yang dikhususkan untuk memberitahukan masuknya waktu shalat yang difardlukan. Pelafalan dalam adzan adalah dua-dua selain takbir pertama (empat kali) dan kalimat tauhid pada akhir adzan (satu kali).

Iqamat, lafadz tersebut merupakan bentuk isim mashdar dari أقام. Disebut demikian karena iqamat merupakan dzikir yang dikhususkan dan dengan dzikir tersebut shalat akan didirikan.

Adzan dan iqamat disyari’atkan untuk setiap sahalt maktubah. Adapun selain shalat maktubah maka panggilan untuk melaksanakanya adalah dengan kalimat الصلاة جامعة”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ghasab

  Fasal: Menerangkan Hukum - Hukum Ghasab Secara bahasa ghasab diartikan dengan mengambil sesuatu secara dzalim dengan cara terang-terangan. Sedangkan dalam literatur syariat ghasab diartikan sebagai menguasai hak orang lain dengan cara dzalim atau tidak semestinya. وهو لغةً أخذ الشيء ظُلمًا مجاهرة وشرعا الاستيلاء على حق الغير عُدْوانًا Ukuran penguasaan disini dikembalikan pada adat yang berlaku. ويُرجع في الاستيلاء للعرف Termasuk di dalam hak orang lain, sesuatu yang sah dighasab adalah suatu barang yang selain harta, seperti kulit bangkai. Dikecualikan dari “secara tidak semestinya”: menguasai harta orang lain dengan cara akad. ودخل في حق الغير ما يصح غصبه مما ليس بمال كجلد ميتة. وخرج بعُدوانا الاستيلاء على مال الغير بعقد Konsekuensi Ghasab:   Barang siapa ghasab harta orang lain, maka baginya wajib mengembalikan harta tersebut pada pemiliknya. Meskipun dal

Syarat-Syarat Sebelum Melaksanakan Shalat

Fasal: Syarat-Syarat Sebelum Melaksanakan Shalat Syarat-syarat shalat sebelum masuk di dalamya ada lima, lafadz شروط merupakan bentuk jama’ dari شرط . Syarat secara bahasa adalah tanda, sedangkan syarat menurut istilah syari’at adalah sesuatu yang menentukan sahnya shalat, namun bukanlah bagian dari shalat itu sendiri. Dikecualiakan dengan qayid ini: rukun, karena rukun merupakan bagian dari shalat itu sendiri. Syarat pertama adalah sucinya anggota badan dari hadats, baik kecil maupun besar bagi orang yang mampu melakukan nya. Adapun orang yang tidak memiliki dua alat bersuci (air dan debu), maka baginya tetap dihukumi sah shalatnya namun wajib mengulangi. Kemudian sucinya seseorang dari najis yang adanya tidak dapat dimaafkan baik berada pada pakaian, anggota badan, maupun tempat melaksanakan shalat. Kyai mushonif akan menerangkan mengenai bagian akhir (tempat melaksanakan) pada bab berikutnya. Syarat kedua adalah menutupi warna aurat bagi yang mampu. Sehingga ketika ada seseora

Tata Krama Melaksanakan Mandi

  فصل: باب أداب الغسل Fasal: Tata Krama Melaksanakan Mandi فإذا أصابتك جنابة من احتلام أو وقاع, فخذ الإناء إلى المغتسل, واغسل يديك أولا ثلاثا, وأزل ما على بدنك من قذر. Ketika kalian sedang mengalami hadats janabat baik disebabkan oleh mimpi basah ataupun hubungan badan, maka ambilah wadah untuk mandi. Kemudian basuhlah kedua tangan kalian sebanyak tiga kali dan berusahalah menghilangkan kotoran yang masih menempel pada badan kalian.   وتوضاء كما سبق وضوئك للصلاة   مع جميع الدعوات, وأخر غسل قدميك كيلا يضيع الماء. فإذا فرغت من الوضوء فصب الماء على رأسك ثلاثا وأنت ناو وفع الحدث من الجنابة, ثم على شقك الأيمن ثلاثا ثم على الأيسر ثلاثا. Setelah membersihkan badan dari kotoran yang masih menempel, maka wudlu’ lah sebagaimana wudlu’ kalian ketika akan melaksanakan shalat, serta bacalah do’a-do’a yang telah diajarkan pada kalian. Dalam berwudlu’ ini, sebaiknya kalian mengakhirkan basuhan kedua kaki agar air yang kalian gunakan tidak terbuang sia-sia. Kemudian setelah selesai melaksana